FKIP Universitas Sriwijaya

FKIP Universitas Sriwijaya tempat peneliti melanjutkan studi

Wawancara pada Small Group

Pelaksanaan Wawancara pada saat small group di SMA Kusuma Bangsa Palembang

Tes Small Group

Tes dilaksanakan di Lab. Komputer SMA Kusuma Bangsa Palembang

Field Test

Sebanyak 20 siswa yang mengikuti tahap field-test di SMA Kusuma Bangsa Palembang

Field Test

Siswa Mengerjakan soal-soal berbasis online dengan menggunakan laptop masing-masing.

Saturday, December 31, 2022

Deduktif, Induktif, dan Abduktif: Suatu Pendekatan Pada Filsafat Ilmu untuk Matematika.

 

Filsafat merupakan cabang ilmu tertua yang salah satunya mempelajari tentang cara menguji suatu pernyataan apakah dapat menjadi suatu pengetahuan. Syarat suatu pernyataan menjadi pengetahuan haruslah “true, believe, and justified”. Suatu pernyataan harus benar, bersumber dari fakta atau dibangun dari teori-teori yang sudah teruji. Selanjutnya pernyataan itu wajib dipercaya baik oleh diri sendiri maupun orang lain. Tentunya suatu pernyataan menjadi pengetahuan dibutuhkan orang lain yang mempercayainya, tanpa adanya kepercayaan dari orang lain suatu pernyataan tetaplah menjadi pernyataan. Terakhir pernyataan harus dapat diuji kebenaran, baik dari sumber datanya maupun proses terbentuknya menjadi sebuah sebuah pernyataan. Jika ketiganya telah terpenuhi maka pernyataan layak dikatakan sebagai pengeahuan.

 

Nah, bagaimana dengan pengetahuan pada matematika? apakah setiap proses pengetahuan yang terbentuk dalam matematika melalui tahap “true, believe, and justified”. Dalam buku “What is this thing called knowledge?” karya Duncan Pritchard disebutkan ada tiga pendekatan yang digunakan dalam menyelesaikan masalah matematika yaitu deduktif, induktif, dan abduktif.

 

Pendekatan deduktif yaitu proses pengolahan data/informasi dalam rangka menggunakan  defenisi, aksioma,  sifat, teorema, atau lemma serta pernyataan yang sudah dijamin kebenaran untuk menyelesaikan masalah yang ditemui. Matematika merupakan ilmu deduktif, karena semua pernyataan turunannya diperoleh dengan menggunakan defenisi, aksioma, sifat, teorema, atau lemma. Misalnya pada bilangan berpangkat, pengetahuan tentang bilangan berpangkat dibangun dari defenisi yaitu an = a x a x a x … x a (perkalian a sebanyak n faktor). Jadi jika ada sifat operasi pangkat an x bn = (a xb)n maka proses pembuktiannya (justifikasi) menggunakan defenisi yaitu

an x bn = (a x a x a x … x a) x (b x b x b x … x b)

= (a x b) x (a x b) x (a x b) x … x (a x b)

= (a x b)n

Dari contoh yang diberikan terlihat bahwa pengetahuan pada bidang ilmu matematika  dapat diperoleh dengan pendekatan deduktif. Namun cara mengenalkan pengetahuan matematika dengan pendekatan akan bermasalah ketika diterapkan di tingkat pemula misalnya dikenalkan pada siswa sekolah dasar atau sekolah menengah. Karena pendekatan deduktif cenderung lebih abstrak atau tidak sesuai dengan perkembangan kognitif anak yang mengenal sesuatu dari yang kongkrit. Sehingga pendekatan induktif merupakan alternatif solusi dari masalah ini.

 

Pendekatan induktif merupakan proses berpikir yang dimulai dari contoh-contoh untuk menemukan pola umum dari masalah yang diberikan. Banyak contoh-contoh pada pembelajaran matematika yang mudah dipahami dengan menggunakan pendekatan induktif. Misalnya pada sifat komutatif pada operasi penjumlahan atau perkalian. Sebagai contoh; 4 + 5 = 5 + 4 = 9, 7 + 5 = 5 + 7 = 12, -2 + 3 = 3 + (-2) = 1, dan lain sebagainya. Dari beberapa contoh kasus yang diberikan dapat disimpulkan bahwa a + b = b + a (sifat komutatif). Tentunya masih banyak temuan-temuan pada matematika tingkat lanjut yang diawali dengan menggunakan pendekatan induktif. Misalnya Teorema Terakhir Fermat (an + bn = cn, tidak ada a, b, c, n bilangan asli yang memenuhi untuk n lebih dari 2) teorema ini awalnya berupa konjektur (dugaan/pernyataan) butuh 358 tahun untuk membuktikannya. Begitu juga ada konjektur yang sampai saat ini belum dapat dibuktikan kebenarannya misalnya konjektur Goldbach yang menyatakan “setiap bilangan bulat genap yang lebih besar dari 2 dapat ditulis sebagai jumlah dari dua bilangan prima”. Konjektur ini sudah berumur 280 tahun atau tepatnya pada 1742 diajukan oleh Christian Goldbach. Begitu banyak temuan dalam matematika yang diawali dengan pendekatan induktif. Tentunya pendekatan deduktif dan induktif belum cukup untuk menyelesaikan masalah matematika yang ditemui. khususnya bila masalah yang diberikan membutuhkan informasi lainnya.


Untuk menghitung luas daerah yang berwarna hijau, dibutuhkan informasi luas daerah diluarnya untuk menyelesaikan masalah yang diberikan. Proses berpikir yang membutuhkan informasi lainnya dinamakan pendekatan  deduktif. Cara berpikir menggunakan  pendekatan abduktif cocok diterapkan untuk menyelesaikan masalah yang lebih kompleks.

 

Dari ketiga pendekatan berpikir, untuk para pelajar matematika tingkat lanjut, pendekatan deduktif yang paling disarankan, karena pada dasarnya matematika adalah ilmu deduktif. Namun bagi pemula atau yang baru belajar matematika maka pendekatan induktif yang paling disarankan, karena kita dapat membangun pengetahuan dari contoh-contoh menuju pola umum. Berbagai pendekatan untuk belajar matematika akan selalu berkembang sesuai dengan tingkat masalah yang ditemui.

 

I Ketut Kertayasa (Mahasiswa S3 Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia, Penerima Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI) Tahun 2022)




Saturday, October 22, 2022

Ringkasan Koneksi Antar Materi Modul 1.4 Budaya Positif ( Oleh I Ketut Kertayasa)

 

 Sebagai seorang calon guru penggerak yang telah mempelajari sepertiga modul yang diberikan  mulai dari  Modul 1.1 tentang Pemikiran KHD, Modul 1.2 tentang Nilai dan Peran Guru Penggerak, Modul 1.3 tentang Visi Guru Penggerak, dan Modul 1.4 tentang Budaya Positif saya semakin menyadari bahwa guru memiliki peran yang sangat penting sebagai seorang pemimpin pembelajaran  yang berppihak pada murid yang mengutamakan kepentingan murid untuk mencapai tujuan hidupnya yaitu selamat dan Bahagia. Oleh sebab itu semua warga sekolah berkolaborasi untuk menciptakan pendidikan yang berpihak kepada anak dengan langkah awal adalah dengan menciptakan visi yang jelas. Setelah itu prakarsa perubahan kita susun dengan menggunakan langkah BAGJA yang berorientasi pada elemen Profil Pelajar Pancasila. Langkah BAGJA pada prakarsa perubahan diharapkan mampu menciptakan budaya positif untuk ekosistem pendidikan khusunya untuk murid-murid.

 Adapun yang sudah saya lakukan adalah:

1.  Membuat keyakinan kelas pada awal pembelajaran. Ini sesuai dengan filosofi Ki Hajar Dewantara tentang merdeka belajar dan sesuai dengan nilai Guru Penggerak yang saya miliki adalah berpihak pada murid. Saya juga sudah berbagi ilmu dan diskusi dengan rekan sejawat terkait keyakinan kelas beserta dengan nilai-nilai kebajikan, harapan saya mereka juga bisa menerapkannya daam pembelajaran.

2.      Menerapkan disiplin positif, dengan menanamkan motivasi intrinsik bahwa mereka melakukan disiplin positif bukan karena takut dihukum atau untuk mendapatkan penghargaan dari orang lain tapi apa yang mereka kerjakan untuk menghargai dirinya sendiri dan orang lain berdasarkan nilai-nilai kebajikan yang telah mereka yakini.

3.      Posisi kontrol saya pada setiap masalah murid adalah manager, saya berusaha berbuat sesuatu bersama dengan murid, mempersilakan murid mempertanggungjawabkan perilakunya, mendukung murid agar dapat menemukan solusi atas permasalahannya sendiri.  Hal ini sesuai dengan konsep pemikiran KHD bahwa salah satu tugas guru adalah untuk memfasilitasi murid sesuai dengan kodrat alam dan zamannya.

4.      Bila terjadi permasalahan murid yang berlanjut saya akan mengadakan segitiga restitusi, yang terdiri dari 3 tahap yaitu menstabilkan identitas, supaya murid mempunyai rasa percaya diri setelah melakukan kesalahan, validasi tindakan yang salah, supaya murid dapat mengungkapkan tujuan tindakan yang sudah dilakukan dan dapat mengambil solusi terbaik untuk memperbaiki kesalahannya, kemudian tahap yang ketiga adalah menanyakan keyakinan kelas, supaya murid mengingat kembali keyakinan kelas dan berjanji untuk selalu melaksanakan keyakinan kelas tersebut. Hal ini sesuai dengan filosofi KHD tentang merdeka belajar, kemudian sesuai dengan nilai Guru Penggerak berpihak pada murid, dan refleksi, serta sesuai dengan peran Guru Penggerak sebagai Pemimpin pembelajaran, dan tentunya mencapai visi Guru penggerak yaitu merdeka belajar.

 

C.   Sejauh mana pemahaman Anda tentang konsep-konsep inti yang telah Anda pelajari di modul ini, yaitu: disiplin positif, teori kontrol, teori motivasi, hukuman dan penghargaan, posisi kontrol guru, kebutuhan dasar manusia, keyakinan kelas, dan segitiga restitusi. Adakah hal-hal yang menarik untuk Anda dan di luar dugaan?

1.      Disiplin positif merupakan unsur utama dalam terwujudnya budaya positif yang kita cita-citakan di sekolah-sekolah kita. Sebelum mempelajari Modul 1.4 saya beranggapan bahwa disiplin sangat erat hubungannya dengan penerapan tata tertib, peraturan dan hukuman padahal itu sungguh berbeda, karena belajar tentang disiplin positif akan terwujud dengan menerapkan restitusi.

2.      Ada 5 posisi kontrol yang diterapkan seorang guru, orang tua ataupun atasan dalam melakukan kontrol. yaitu : Penghukum, Pembuat rasa bersalah, Teman, Pemantau, Manager. Menjadi seorang penghukum merupakan posisi terendah dalam posisi kontrol karena berefek jangka panjang terhadap psikologis murid, posisi control terbaik adalah manager. Melalui posisi manager kita dapat mencari solusi terbaik dengan tahapan renstitusi

3.      Lima Kebutuhan Dasar Manusia

Ø  Kebutuhan Bertahan Hidup,

Ø  Cinta dan kasih sayang (Kebutuhan untuk Diterima),

Ø  Penguasaan (Kebutuhan Pengakuan atas Kemampuan),

Ø  Kebebasan (Kebutuhan Akan Pilihan),

Ø  Kesenangan (Kebutuhan untuk merasa senang)

Dengan memahami konsep 5 kebutuhan dasar, kita dapat mengarahkan murid untuk mencari cara positif untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Kita dapat membimbing murid menemukan solusi atas permasalahannya sendiri karena ketika seorang murid melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kebajikan, atau melanggar peraturan, hal itu sebenarnya dikarenakan mereka gagal memenuhi kebutuhan dasar mereka.

4.      Keyakinan Kelas

Siswa akan lebih tergerak dan bersemangat untuk menjalankan keyakinannya, daripada hanya sekedar mengikuti serangkaian peraturan melalui nilai-nilai kebajikan yang mereka yakini. Adapun hal-hal yang harus diperhatikan dalam pembentukan keyakinan kelas adalah sebagai berikut :

Ø  Keyakinan kelas bersifat lebih 'abstrak' daripada peraturan, yang lebih rinci dan konkrit.

Ø  Keyakinan kelas berupa pernyataan-pernyataan universal.

Ø  Pernyataan keyakinan kelas senantiasa dibuat dalam bentuk positif.

Ø  Keyakinan kelas hendaknya tidak terlalu banyak, sehingga mudah diingat dan dipahami oleh semua warga kelas.

Ø  Keyakinan kelas sebaiknya sesuatu yang dapat diterapkan di lingkungan tersebut.

Ø  Semua warga kelas hendaknya ikut berkontribusi dalam pembuatan keyakinan kelas lewat kegiatan curah pendapat.

Ø  Bersedia meninjau kembali keyakinan kelas dari waktu ke waktu.

 

 

 

5.      Segitiga Restitusi

Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka , sehingga bisa kembali pada kelompok mereka dengan karakter yang lebih kuat. Sedangkan segitiga restitusi adalah sebuah tahapan untuk memudahkan para guru dan orangtua dalam melakukan proses untuk menyiapkan anaknya untuk melakukan restitusi.

Langkah-langkah segitiga restitusi adalah :

a)      Menstabilkan identitas (kita semua akan melakukan hal yang terbaik yang bisa kita lakukan)

b)       Validasi tindakan yang salah (semua perilaku memiliki alasan)

c)      Menanyakan keyakinan (kita semua memiliki motivasi internal)

6.      Hal-hal yang menarik dan di luar dugaan saya adalah bahwa adanya korelasi atau hubungan antara pemenuhan kebutuhan dasar manusia dengan pembentukan disiplin positif melalui nilai-nilai kebajikan yang diyakini (keyakinan kelas).

D.  Perubahan apa yang terjadi pada cara berpikir Anda dalam menciptakan budaya positif di kelas maupun sekolah Anda setelah mempelajari modul ini?

Cara mendidik murid yang saya lakukan sebelum mengikuti CGP jauh dari kata sempurna, jika saya mengingatnya kembali saya cenderung menempati posisi penghukum, pembuat rasa bersalah, dan jarang menjadi teman. Posisi inilah yang saya lakukan setiap harinya dalam mendidik. Tentunya setelah mempelajari modul ini saya berusaya menjadi pendidik dengan menempati posisi kontrol terbaik yaitu manager

 

E.  Pengalaman seperti apakah yang pernah Anda alami terkait penerapan konsep-konsep inti dalam modul Budaya Positif baik di lingkup kelas maupun sekolah Anda?

Awalnya murid-murid saya merasa aneh dengan perubahan saya terutama dalam menyelesaikan masalah murid, tapi setelah saya menerapkan budaya positif di sekolah saya yaitu dengan membuat keyakinan kelas dan penerapan segitiga restitusi, saya merasa murid lebih antusias dan aktif dalam pembelajaran. Murid menjadi lebih percaya diri dan disiplin dalam menjalankan nilai-nilai kebajikan yang telah mereka yakini tanpa paksaan dan tentunya siswa menjadi lebih terbuka

F.  Bagaimanakah perasaan Anda ketika mengalami hal-hal tersebut?

Saya merasa bahagia dan merasa tertantang untuk selalu menerapkan budaya positif di sekolah saya dan menularkannya ke komunitas praktisi yang ada di sekolah saya. Saya merasa lebih bisa mengontrol diri dan yang pasti saya sebagai guru merasa lebih disayangi oleh murid-murid saya daripada sebelumnya.

G.  Menurut Anda, terkait pengalaman dalam penerapan konsep-konsep tersebut, hal apa sajakah yang sudah baik? Adakah yang perlu diperbaiki?

Setelah menerapkan konsep-konsep budaya positif dalam pembelajaran, hal yang sudah baik menurut saya adalah sudah mulai munculnya motivasi intrinsic pada urid untuk melaksanaka budaya positif sesuai dengan nilai-nilai kebajikan yang diyakininya.

Yang perlu diperbaiki adalah bagaimana langkah guru dalam menanamkan nilai kepada murid bahwa mereka melakukan disiplin positif untuk menghargai dirinya sendiri dan orang lain, bukan untuk menghindari hukuman atau mendaptkan penghargaan.

H. Sebelum mempelajari modul ini, ketika berinteraksi dengan murid, berdasarkan 5 posisi kontrol, posisi manakah yang paling sering Anda pakai, dan bagaimana perasaan Anda saat itu? Setelah mempelajari modul ini, posisi apa yang Anda pakai, dan bagaimana perasaan Anda sekarang? Apa perbedaannya?

Dulu saya sering memposisikan diri sebagai penghukum, pemantau atau teman. Menurut saya saat itu bahwa dengan memberikan hukuman saat murid melanggar kesepakatan adalah cara yang paling efektif dalam menangani kasus indisipliner, harapan saya mereka tidak mengulanginya kembali. Tapi ternyata terulang lagi dan lagi. Setelah mempelajari modul 1.4 mulai sekarang dan ke depannya saya ingin menjadikan peran saya sebagai seorang manager dalam menyelesaikan masalah murid. Sekarang saya merasa lebih bisa mengontrol emosi dan bahagia karena bisa membimbing siswa agar dapat menemukan solusi sendiri atas permasalahan mereka. Perbedaan yang paling mencolok adalah dari segi pengelolaan emosi guru dan respon murid.

 

I.   Sebelum mempelajari modul ini, pernahkah Anda menerapkan segitiga restitusi ketika menghadapi permasalahan murid Anda? Jika iya, tahap mana yang Anda praktekkan dan bagaimana Anda mempraktekkannya?

Dalam mengatasi pemasalahan murid kadang saya secara tidak sadar sudah menerapkang langkah segitiga restitusi, terutama dalam menstabilkan identitas dan memvalidasi tindakan yang salah tetapi saya belum menanyakan keyakinan agar murid dapat menanamkan nilai-nilai kebajikan dalam dirinya sehingga ke depannya murid tidak akan mengulangi kesalahannya kembali.

I.   Selain konsep-konsep yang disampaikan dalam modul ini, adakah hal-hal lain yang menurut Anda penting untuk dipelajari dalam proses menciptakan budaya positif baik di lingkungan kelas maupun sekolah?

Hal-hal lain yang penting untuk dipelajari dalam proses menciptakan budaya positif baik di lingkungan kelas maupun sekolah adalah bagaimana menciptakan kerjasama yang baik antara murid, guru, rekan sejawat, pemangku kepentingan dan orang tua sehingga budaya positif ini dapat berlangsung secara berkelanjutan.

Artikel ini disadur dari  artike Ika Rahma dengan beberapa penyesuaian dengan pengalaman saya.

 

 

 

 

 

Tuesday, September 13, 2022

Refleksi Diri yang Berpijak Pada Pemikiran Ki Hajar Dewantara (KHD)

       Kita mengetahui bahwa Ki Hajar Dewantara (KHD) dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional. Julukan tersebut tentunya didasarkan pada pemikiran-pemikiran yang masih relevan dengan perkembangan zaman hingga saat ini. Beliau menyampaikan bahwa dasar penentuan arah pendidikan harus sesuai dengan kodrat alam dan kodrat zaman. Pendidikan harus mengacu pada kodrat alam berarti dalam pembelajaran siswa harus didekatkan dengan tempat mereka tinggal, siswa harus dituntun untuk mampu beradaptasi atau menerapkan norma agama, kesusilaan, kesopanan, dan hukum ditempat tinggal mereka. Selain itu, siswa juga diarahkan untuk mengenali sosio-kultural ada pada tempat tinggalnya. Begitu juga dengan strategi pembelajaran yang digunakan guru harus mengutamakan keadaan alam sekitar. Pendidikan yang melihat kodrat zaman berarti guru wajib menuntun siswa untuk beradaptasi dengan zaman yang sedang berlangsung dan mempersiapkan siswa untuk dapat hidup selamat dan bahagia  (well being) pada zaman yang akan datang. Sebagai contoh pada saat ini dikenal dengan generasi Z dimana pada generasi ini anak yang baru lahir telah mengenal yang namanya internet, maka dalam pembelajaran perlu dikenalkan dengan manfaat internet yang nantinya dapat membantu siswa dalam meraih cita-citanya.

       Dalam mewujudkan cita-cita setiap siswa, seorang guru harus menghamba pada kebutuhan pengembangan bakat anak didiknya. Pendidikan yang menghamba pada peserta didik itu bermaksud, guru harus menyadari bahwa setiap anak memiliki bakat yang berbeda. Diibaratkan siswa adalah bibit-bibit tanaman berbeda yang dititipkan oleh orang tua kepada guru. Tugas guru adalah merawat dan menumbuhkan bibit-bibit yang dititip oleh orang tuanya agar tumbuh menjadi tanaman yang tubuh subur dan menghasilkan buah, umbi, atau bunga yang berkualitas. Salah satu cara mewujudkan tujuan tersebut yaitu dengan menebalkan bakat unik yang dimiliki oleh setiap peserta didik dan mengaburkan kelemahan-kelemahan yang dimiliki siswa, sehingga siswa tersebut terbiasa fokus dengan kelebihan yang dimilikinya.

          Sebagai seorang guru dan telah mempelajari pemikiran KHD, hal pertama yang saya lakukan adalah mengenali bakat setiap siswa. Untuk mengenali bakat tersebut tentu saya menggunakan tes diagnostik. Dari hasil tes tersebut kemudian saya diskusikan dengan teman sejawat selanjutnya dilaporkan kepada Kepala Sekolah untuk meminta izin melakukan pembelajaran terdiferensiasi. Pada saat ini, saya telah mengembangkan media pembelajaran online (berbasis website) untuk memfasilitasi anak-anak yang memiliki bakat matematika. Anak-anak dengan bakat matematika ini akan dibimbing secara konsisten untuk pengembangan kompetensi diri yang dimilikinya. Hal ini sangat sesuai dengan pemikiran KHD yang menyatakan pendidikan harus menghamba pada murid. 

Ditulis Oleh I Ketut Kertayasa (Calon Guru Penggerak Angkatan 6)






Friday, May 15, 2020

Pembahasan Soal PISA Tahun 2006/Prediksi Soal AKM Matematika, Konteks: Walking dan Apple

Selamat Belajar, Semoga Bermanfaat